Sabtu, 02 April 2016

Kembalikan Kedigdayaan Kepulan Asap Putih Kebangsaan


Suatu ketika saat Haji Agus Salim yang merupakan Dubes Pertama RI untuk Kerajaan Inggris mengebal-ngebulkan asap putih dalam sebuah perjamuan di istana Buckingham ketika penobatan Elizabeth II sebagai ratu Inggris. Aroma yang khas tercium di ruang perjamuan sehingga memancing salah seorang hadirin bertanya, “Tuan sedang menghisap apa itu?” The Grand Oldman, begitu julukan Agus Salim, langsung menjawab, “Inilah yang membuat nenek moyang Anda sekian abad lalu datang dan kemudian menjajah negeri kami.”
Jawaban yang sangat jitu dilontarkan oleh seorang diplomat ulung dari minang, bagaimana tidak emas hijau itulah yang menyebabkan bangsa kita dijajah beratus-ratus tahun oleh Eropa. Tembakau serta cengkeh dan pala merupakan tiga jenis rempah favorit para bule yang menggiurkan dalam perdagangan zaman penjajahan dulu.
Di era sistem Tanam Paksa yang diberlakukan Gubernur Hindia Belanda Johannes van den Bosch sejak 1830, tembakau menjadi salah satu tanaman ekspor yang wajib ditanam penduduk bangsa ini. Belanda mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari penerapan Tanam Paksa. Pendapatan yang diperoleh dari tembakau saja yang mulanya senilai 180.000 gulden, meningkat menjadi 1.200.000 gulden pada 1840, dan masih meningkat lagi menjadi 2.300.000 gulden pada 1845. Seorang penulis berkebangsaan Belanda seperti dikutip oleh J.S. Furnivall dalam Netherlands India: A Study of Plural Economy menyebut perubahan yang diakibatkan pemberlakuan sistem Tanam Paksa ini terjadi tiba-tiba dan mendalam, seperti keajaiban: “Jawa melimpahkan kekayaan demi kekayaan atas negeri Belanda seperti tongkat tukang sihir.”
Kemudian, berlanjut pada industri raksasa yang hadir dan tetap bertahan pada segala jenis serangan yaitu industri pengolahan tembakau dan cengkeh yang merupakan satu dari sekian banyak penyumbang pendapatan negara melalui pajak dan cukainya. Kini, industri rokok tersebut sedang perlahan dikerdilkan, lagi-lagi oleh para penjajah melalui jalur yang sangat ghozwul fikr yaitu regulasi. Ya, regulasi, salah satu senjata ala neo-liberalisme, penjajahan melalui ikatan peraturan merupakan jalur yang ditempuh orang-orang yang semakin sirik dengan kegagahan bangsa atas penghasilan yang dihasilkan oleh kepulan asap putih dari mulut-mulut yang hitam. Jamuan udud racikan Haji Djamhari yang biasa disebut kretek merupakan warisan budaya yang sesungguhnya tidak akan ternilai melihat nilai historisnya pada perkembangan perekonomian bangsa.
Rusdi atau bisa disebut Nitisemito sang Raja Kretek menuai kesuksesan ketika perusahaan Nitisemito pada tahun 1938 beliau sukses memperkerjakan sebanyak 10.000 buruh yang menghasilkan 10 juta batang rokok per hari. Fakta selanjutnya yang menarik adalah pada Juni 2015 tercatat bahwa PT HM Sampoerna di Surabaya beserta 38 unit Mitra Produksi Sigaret (MPS) memperkerjakan lebih dari 48.000 karyawan. Namun, hal mengejutkan terjadi ketika pada tahun 2005 PT Philip Morris Indonesia berhasil mengakuisisi PT HM Sampoerna. Bahkan di situs resmi PT Philip Morris Indonesia disebutkan bahwa kini perusahaannya memiliki 98% saham dari perusahaan kretek tertua tersebut. Otomatis, dengan terjadinya hal tersebut maka keuntungan yang didapatkan oleh PT HM Sampoerna akan masuk ke pundi-pundi perusahaan asal amerika dengan produk andalannya yang sering dikaitkan dengan jantannya seorang koboi.
Setelah dirampok dari sisi ekonomi kemudian lahirlah undang-undang yang lagi-lagi berusaha mengkerdilkan industri asli bangsa ini, yaitu perihal kesehatan. Dimulai dari pengubahan istilah merokok yang tadinya merupakan sebuah kebiasaan menjadi kecanduan, kedua hal yang berbeda tipis namun memiliki konotasi yang sangat jauh dan memberi efek domino luar biasa pada pandangan bangsa ini mengenai kretek. Dilanjuktan dengan UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 115 yang mengatur kawasan tanpa rokok yang berakibat pada terciptanya ‘smoking room’ yang membuat para perokok seperti orang-orang perilaku kriminal dengan penjara masyarakat berupa pengucilan atas asap yang dikepulkannya.
Data yang disebutkan oleh Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) menyatakan bahwa pada tahun 2015 sekitar 6 juta masyarakat Indonesia adalah petani tembakau dan belum lagi yang bekerja di bidang lain sebagai bahan baku rokok menggantungkan hidupnya pada industri ini. Namun apa daya ketika diciptakan dikotomi antara perokok aktif dan pasif membuat industri rokok dalam negeri kian menjadi bulan-bulanan penggiat kesehatan. Dikatakan bahwa perokok pasif akan menerima dampak kesehatan lebih parah daripada perokok aktif membuat masyarakat melakukan tindakan-tindakan pengucilan untuk perokok aktif baik dengan mengibaskan asap rokok hingga pada menjauh untuk membuat sang perokok aktif tidak nyaman layaknya menjadi seorang penjahat di lingkungannya sendiri.
Kini, budaya bangsa yang dahulu rapat dan kuat dalam menyokong berbagai sektor seni di kampus-kampus pun kian menghilang beserta acara seni kampusnya berkat PP Nomor 109 Tahun 2012 yang secara langsung dan tidak langsung membuat kampus enggan mengizinkan mahasiswanya mengadakan acara dengan sponsor produk rokok. Prof. dr. Budi Sampurna, SH, DFM, SpF(K), SpKP ketika masih menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Mediko Legal Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan perusahaan rokok jangan lagi menggunakan merek atau logo produk rokok termasuk brand imagenya. Tidak bertujuan promosi, dan tidak boleh diliput media. Sehingga jika ingin memberikan dana CSR silahkan berikan saja langsung tanpa embel-embel. Dampaknya, perusahaan rokok malah seakan melakukan promosi ‘terselubung’ dan lagi-lagi menciptakan hawa negatif kepada masyarakat mengenai rokok.
Apakah seluruh konten di PP No. 109 tahun 2012 tersebut murni untuk menyelamatkan kesehatan bangsa dari tembakau yang katanya memiliki bahaya kesehatan ataukah itu hasil saduran Framework Covension of Tobacco Control (FCTC) yang nyata-nyata berusaha memperlemah industri tembakau dalam negeri demi mempermudah masuknya industri rokok asing yang seakan disamaratakan pengkategoriannya?
Amat sangat meruginya bangsa kita apabila hanya karena satu sektor yaitu kesehatan dijadikan senjata untuk menyerang kepulan asap putih berusia ratusan tahun demi mengorbankan sektor lain yaitu politik, ekonomi dan budaya yang sudah jelas menjadi jembatan kemerdekaan dan kemajuan bangsa ini hingga sekarang.
Pada akhirnya, kita akan melihat pertarungan yang tidak imbang dari tangan hitam petani tembakau yang berusaha memenuhi kebutuhan perutnya hari ini melawan kerongkongan haus kapitalis penggiat regulasi yang kian hari kian rakus menggarap seluruh sektor yang menguntungkan diri dan kolega bisnisnya.


Refrensi: Aji, Adi Seno & Yoandinas, Marlutfi, Kretek: Kemandirian dan Kedaulatan Bangsa Indonesia, 2014.