Suatu ketika saat Haji Agus Salim yang
merupakan Dubes Pertama RI untuk Kerajaan Inggris mengebal-ngebulkan asap putih
dalam sebuah perjamuan di istana Buckingham ketika penobatan Elizabeth II
sebagai ratu Inggris. Aroma yang khas tercium di ruang perjamuan sehingga
memancing salah seorang hadirin bertanya, “Tuan sedang menghisap apa itu?” The Grand Oldman, begitu julukan Agus
Salim, langsung menjawab, “Inilah yang membuat nenek moyang Anda sekian abad lalu
datang dan kemudian menjajah negeri kami.”
Jawaban yang sangat jitu dilontarkan oleh
seorang diplomat ulung dari minang, bagaimana tidak emas hijau
itulah yang menyebabkan bangsa kita dijajah beratus-ratus tahun oleh Eropa.
Tembakau serta cengkeh dan pala merupakan tiga jenis rempah favorit para bule
yang menggiurkan dalam perdagangan zaman penjajahan dulu.
Di
era sistem Tanam Paksa yang diberlakukan Gubernur Hindia Belanda Johannes van
den Bosch sejak 1830, tembakau menjadi salah satu tanaman ekspor yang wajib
ditanam penduduk bangsa ini. Belanda mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari
penerapan Tanam Paksa. Pendapatan yang diperoleh dari tembakau saja yang
mulanya senilai 180.000 gulden, meningkat menjadi 1.200.000 gulden pada 1840,
dan masih meningkat lagi menjadi 2.300.000 gulden pada 1845. Seorang penulis
berkebangsaan Belanda seperti dikutip oleh J.S. Furnivall dalam Netherlands India: A Study of Plural Economy
menyebut perubahan yang diakibatkan pemberlakuan sistem Tanam Paksa ini
terjadi tiba-tiba dan mendalam, seperti keajaiban: “Jawa melimpahkan kekayaan
demi kekayaan atas negeri Belanda seperti tongkat tukang sihir.”
Kemudian,
berlanjut pada industri raksasa yang hadir dan tetap bertahan pada segala jenis
serangan yaitu industri pengolahan tembakau dan cengkeh yang merupakan satu
dari sekian banyak penyumbang pendapatan negara melalui pajak dan cukainya.
Kini, industri rokok tersebut sedang perlahan dikerdilkan, lagi-lagi oleh para
penjajah melalui jalur yang sangat ghozwul fikr yaitu regulasi. Ya, regulasi,
salah satu senjata ala neo-liberalisme, penjajahan melalui ikatan peraturan
merupakan jalur yang ditempuh orang-orang yang semakin sirik dengan kegagahan
bangsa atas penghasilan yang dihasilkan oleh kepulan asap putih dari
mulut-mulut yang hitam. Jamuan udud racikan Haji Djamhari yang biasa disebut
kretek merupakan warisan budaya yang sesungguhnya tidak akan ternilai melihat
nilai historisnya pada perkembangan perekonomian bangsa.
Rusdi
atau bisa disebut Nitisemito sang Raja Kretek menuai kesuksesan ketika
perusahaan Nitisemito pada tahun 1938 beliau sukses memperkerjakan sebanyak
10.000 buruh yang menghasilkan 10 juta batang rokok per hari. Fakta selanjutnya
yang menarik adalah pada Juni 2015 tercatat bahwa PT HM Sampoerna di Surabaya beserta
38 unit Mitra Produksi Sigaret (MPS)
memperkerjakan lebih dari 48.000 karyawan. Namun, hal mengejutkan
terjadi ketika pada tahun 2005 PT Philip Morris Indonesia berhasil mengakuisisi
PT HM Sampoerna. Bahkan di situs resmi PT Philip Morris Indonesia disebutkan
bahwa kini perusahaannya memiliki 98% saham dari perusahaan kretek tertua
tersebut. Otomatis, dengan terjadinya hal tersebut maka keuntungan yang
didapatkan oleh PT HM Sampoerna akan masuk ke pundi-pundi perusahaan asal
amerika dengan produk andalannya yang sering dikaitkan dengan jantannya seorang
koboi.
Setelah
dirampok dari sisi ekonomi kemudian lahirlah undang-undang yang lagi-lagi
berusaha mengkerdilkan industri asli bangsa ini, yaitu perihal kesehatan.
Dimulai dari pengubahan istilah merokok yang tadinya merupakan sebuah kebiasaan
menjadi kecanduan, kedua hal yang berbeda tipis namun memiliki konotasi yang
sangat jauh dan memberi efek domino luar biasa pada pandangan bangsa ini
mengenai kretek. Dilanjuktan dengan UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal
115 yang mengatur kawasan tanpa rokok yang berakibat pada terciptanya ‘smoking
room’ yang membuat para perokok seperti orang-orang perilaku kriminal dengan
penjara masyarakat berupa pengucilan atas asap yang dikepulkannya.
Data
yang disebutkan oleh Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) menyatakan
bahwa pada tahun 2015 sekitar 6 juta masyarakat Indonesia adalah petani
tembakau dan belum lagi yang bekerja di bidang lain sebagai bahan baku rokok
menggantungkan hidupnya pada industri ini. Namun apa daya ketika diciptakan
dikotomi antara perokok aktif dan pasif membuat industri rokok dalam negeri
kian menjadi bulan-bulanan penggiat kesehatan. Dikatakan bahwa perokok pasif
akan menerima dampak kesehatan lebih parah daripada perokok aktif membuat masyarakat
melakukan tindakan-tindakan pengucilan untuk perokok aktif baik dengan
mengibaskan asap rokok hingga pada menjauh untuk membuat sang perokok aktif
tidak nyaman layaknya menjadi seorang penjahat di lingkungannya sendiri.
Kini,
budaya bangsa yang dahulu rapat dan kuat dalam menyokong berbagai sektor seni
di kampus-kampus pun kian menghilang beserta acara seni kampusnya berkat PP
Nomor 109 Tahun 2012 yang secara langsung dan tidak langsung membuat kampus
enggan mengizinkan mahasiswanya mengadakan acara dengan sponsor produk rokok. Prof. dr. Budi Sampurna, SH, DFM, SpF(K), SpKP ketika masih menjabat
sebagai Staf
Ahli Bidang Mediko Legal Kementerian
Kesehatan mengatakan bahwa program
Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan perusahaan rokok jangan
lagi menggunakan merek atau logo produk rokok termasuk brand imagenya. Tidak
bertujuan promosi, dan tidak boleh diliput media. Sehingga jika ingin
memberikan dana CSR silahkan berikan saja langsung tanpa embel-embel.
Dampaknya, perusahaan rokok malah seakan melakukan promosi ‘terselubung’ dan
lagi-lagi menciptakan hawa negatif kepada masyarakat mengenai rokok.
Apakah seluruh konten di PP
No. 109 tahun 2012 tersebut murni untuk menyelamatkan kesehatan bangsa dari
tembakau yang katanya memiliki bahaya kesehatan ataukah itu hasil saduran Framework Covension of Tobacco Control
(FCTC) yang nyata-nyata berusaha memperlemah industri tembakau dalam negeri
demi mempermudah masuknya industri rokok asing yang seakan disamaratakan
pengkategoriannya?
Amat sangat meruginya bangsa
kita apabila hanya karena satu sektor yaitu kesehatan dijadikan senjata untuk
menyerang kepulan asap putih berusia ratusan tahun demi mengorbankan sektor
lain yaitu politik, ekonomi dan budaya yang sudah jelas menjadi jembatan
kemerdekaan dan kemajuan bangsa ini hingga sekarang.
Pada akhirnya, kita akan
melihat pertarungan yang tidak imbang dari tangan hitam petani tembakau yang
berusaha memenuhi kebutuhan perutnya hari ini melawan kerongkongan haus
kapitalis penggiat regulasi yang kian hari kian rakus menggarap seluruh sektor
yang menguntungkan diri dan kolega bisnisnya.
Refrensi: Aji, Adi Seno &
Yoandinas, Marlutfi, Kretek: Kemandirian dan
Kedaulatan Bangsa Indonesia, 2014.